• Beranda
  • Tentang Penulis
  • Portofolio
    • Artikel Cetak
    • Artikel SEO
    • Media sosial
    • Majalah
    • Buku
  • Topik
    • Parenting
    • Kesehatan
    • Kecantikan
    • Traveling
    • Film
    • Buku
    • Seni
    • Fiksi
  • Cari Penulis?
Email facebook flickr instagram linkedin twitter youtube

Kabut, Teh Melati, Susu Cokelat, dan Bimasakti

Sebelum baca, coba lihat sekeliling, yuk! Ada berapa limbah elektronik yang disimpan di rumah karena bingung mau buang ke mana? Biasanya sampah elektronik seperti handphone, laptop, kabel, atau baterai ditumpuk atau dibuang gitu aja ke tempat sampah. Sampah elektronik jadi bercampur dengan sampah rumah tangga. Padahal sampah elektronik bisa berbahaya buat lingkungan lho!

sampah elektronik, limbah elektronik, bank sampah
Limbah elektronik yang telah saya tumpuk bertahun-tahun :(

Apa dampaknya pada lingkungan?
Sampah elektronik punya mengandung bahan beracun seperti timbal, polivinil klorida (PVC), merkuri, atau rominated flame retardants (BFR). PCV sering ditemuin di pembungkus kabel dan BFRP digunakan untuk papan sirkuit.

Kalau sampah elektronik itu kita biarin atau dibuang sembarangan, bahan-bahannya bisa mencemari air, tanah, dan udara. Ini berdampak pada kesehatan manusia yaitu keracunan pada ginjal, anemia, atau kanker!

Nah, semenjak tahu bahaya sampah elektronik, saya jadi melarang anak saya main kabel charger nih. Biasanya suka saya biarin aja, selama enggak nyetrum. Hehe. Padahal berbahaya buat kesehatan.

Lalu buang sampah elektronik di mana?
Sebenernya udah ada perusahaan yang mengolah e-waste di Indonesia. Sayangnya, perusahaan tersebut hanya menerima sampah dari pabrik manufaktur saja. Kenapa? Karena bercampur dengan sampah rumah tangga itulah yang membuat perusahaan-perusahaan kesulitan mengambil sampah elektronik. Masa iya harus datang ke rumah warga satu persatu?

Kita sering menemui pengepul sampah elektronik. Sayangnya, mereka tidak memiliki kemampuan dan perlengkapan yang aman saat mempreteli sampah-sampah elektronik tersebut. Padahal sampah ini berbahaya buat kesehatan.

Nah, saya menemukan bank sampah elektronik yang dikelola sama komunitas nonprofit EwasteRJ. Komunitas ini mengedukasi tentang pentingnya membuang sampah elektronik secara tepat. Selain mengedukasi, mereka juga menampung sampah-sampah elektronik di kita. Biasanya mereka ada di Car Free Day dan menyediakan dropbox gitu untuk orang-orang yang mau buang sampah elektronik.

Meski komunitas ini lokasinya di Jakarta, tapi agen e-wastenya tersebar berbagai kota, salah satunya Bandung. Nah, kemarin saya menghubungi agen Bandung untuk membuang benda elektronik milik saya yang udah mati.

Agen bank sampah elektronik di Bandung terletak di Greeneration Foundation, Jl. Titimplik no. 13 Bandung. Awalnya saya hubungi dulu contact person-nya yaitu Amel. Sebelumnya Amel tanya seberapa banyak sampah elektronik yang mau saya buang. Saya kirim foto di atas. Lalu dia bilang saya bisa kasih ke mereka dan sampah dikirim pakai kurir Go-Jek.

Sampah elektronik dibungkus plastik agar aman.

Setahu saya, mengirim sampah elektronik ke bank sampah juga harus hati-hati yaitu dibungkus dengan plastik. Jadinya, saya bungkus plastik sampah-sampah tersebut agar aman. Setelahnya, saya masukkan ke dalam dus bekas deterjen clodi.

Sampah elektronik dimasukkan ke dalam dus, siap dikirim.

Lalu setelah dikumpulkan ke bank sampah, apakah mereka akan mempreteli sendiri? Enggak. Komunitas EwasteRJ ini punya link PT Teknotama Lingkungan Internusa atau perusahaan yang memiliki sertifikasi pengolahan limbah elektronik. Jadi, fungsi komunitas ini sebatas membantu mengumpulkan sampah-sampah elektronik saja. Keren ya!

Kalau sampah elektronik yang besar seperti TV, kulkas, atau AC, hanya bisa dititipkan ke agen EwasteRJ di Jadetabek saja.

Nah, kalau mau tahu agen bank sampah di kota kamu, bisa lihat daftarnya di Instagram EwasteRJ. Ini bukan promosi lho ya, murni karena pengen kita mulai sadar memilah sampah dan bumi yang kita tinggali ini lebih baik. Hehe.

Ada yang sudah memilah limbah elektronik atau baru tahu tentang bank sampah elektronik?
Share
Tweet
Pin
Share
2 comments
Menstrual cup dan tampon sepertinya belum familiar di Indonesia. Banyak perempuan Indonesia yang pakai pembalut. Sepertinya ini terkait dengan norma keperawanan yaitu enggak boleh memasukkan apapun sebelum menikah. Selain itu, menstrual cup atau tampon susah ditemukan juga.

Salah satu merk menstrual cup. Dok. Pribadi

Keinginan saya pakai menstrual cup sudah lama, tapi banyak pertimbangan seperti bingung belinya di mana, takut memakainya, serta harganya yang cukup mahal. Akhirnya saya membulatkan niat saya untuk "hijrah" dari pembalut biasa ke menstrual cup karena semakin prihatin dengan kondisi bumi yang banyak sampah. 

Kenapa pilih menstrual cup? 

Sebenarnya, kalau alasannya pengen mengurangi sampah, saya bisa pakai menstrual pad atau pembalut kain. Tetapi, saya sudah punya beban cuci clodi anak saya, jadi saya malas harus cuci-cuci lagi. Selain itu, sejak pakai IUD, menstruasi saya banyak banget. Selain jadi harus sering ganti dan pakai pembalut panjang, saya juga sering tembus saat pakai pembalut biasa. Maka, saya jadi takut menstrual pad enggak bisa menampung, terus males aja gitu terasa basah.

Selain itu, katanya daya tampung menstrual cup ini bisa sampai 6-12 jam, tergantung dari banyaknya menstruasi ya. Tapi, mari kita coba dan ketahui hasilnya di akhir tulisan ini.

Bagaimana cara memilih menstrual cup?

Jadi, mulanya saya pilih-pilih menstrual cup di Tokopedia. Di situ terlalu banyak pilihan. Dari yang murah banget sampai yang mahal banget. Saya jadi bingung, mana yang bagus? Dan saya juga sanksi apakah yang murah itu bahannya aman buat saya? Secara menstrual cup masuk ke bagian dalam tubuh.

Tahun ini, saya lagi tertarik banget sama zero waste alias gaya hidup minim sampah. Setelah banyak browsing, saya ketemu akun Instagram Sustaination. Selain edukasi tentang zero waste, akun ini jualan menstrual cup dari OrganiCup. Jadi, saya beli di website-nya Sustaination.

Packaging yang ramah lingkungan karena semua tulisan ada di kardus.

Sustaination enggak cuman jualan. Dia juga ngejelasin secara detail tentang cangkir menstruasi ini. Akhirnya, keputusan saya bulat untuk beli OrganiCup, walau harganya lumayan mahal yaitu Rp400.000!

Menstrual cup punya dua size yaitu size A dan size B. Size A direkomendasikan untuk orang yang belum pernah berhubungan seksual atau lahir secara cesar. Size B ukurannya lebih besar, sehingga direkomendasikan untuk orang yang sudah melahirkan secara vaginal. Karena saya lahiran secara cesar, maka saya pilih size A.

Cara pakai menstrual cup pertama kali

Saya latihan pakai menstrual cup sebelum menstruasi datang, jadi supaya nanti siap saat kejadian. Mulanya memang deg-degan. Tapi setelah dipikir-pikir, walaupun saya enggak melahirkan secara vaginal, tetapi ini vagina udah dimasukkin segala macem, dari tangan dokter/suster saat periksa pembukaan sampai corong saat pasang IUD di puskesmas lalu. Jadi, enggak masalah ya. Hahaha.

Saya baca-baca dulu petunjuk dari OrganiCup, lihat video tutorial di YouTube cara memasukkan dan mengeluarkannya, terus coba-coba metode melipat menstrual cup-nya terlebih dahulu. Setelah tahu, baru deh saya coba masukkin ke vagina.

Triangle-fold

Punch-down fold

C-fold, penampakan dari atas

C-fold. Penampakan dari samping

Diamond-fold yang ribet


Kuncinya adalah rileks. Jadi ketika saya masukkan ke vagina, saya enggak mikir macem-macem. Saya jongkok, tarik nafas panjang, masukkan perlahan, lalu raba bagian bawah cup-nya untuk memastikan enggak ada yang terlipat. Kalau terlipat, ini bisa mengerjakan kebocoran saat menstruasi.

Saya coba beberapa teknik melipat menstrual cup. Yang paling cocok adalah punch-down fold. Saya coba berdiri dan bergerak-gerak. Setelah puas coba, saya latihan melepasnya. Caranya, jongkok kemudian mengeden seperti mau BAB. Nanti akan terasa menstrual cup-nya agak turun. Di situ, saya cubit bagian bawah cup (bukan batangnya) dan tarik perlahan.

Kesimpulannya, tidak sakit dan enak banget dipakai! Sama sekali enggak kerasa ada yang mengganjal. Ah, I wish I knew of this earlier! Pasti hemat banget dan enggak membebani bumi dengan sampah. Apalagi saya masih berenang saat menstruasi karena enggak perlu takut keluar.

Pakai menstrual cup pertama kali saat menstruasi datang

Akhirnya setelah 3 minggu menunggu, si menstruasi datang juga. Saya deg-degan dan excited. Saya aplikasikan langkah-langkah di atas, tapi tidak terasa seenak waktu latihan di awal. Saat masuk, rasanya ada yang mengganjal. Mungkin karena posisinya belum tepat.

Enam jam kemudian, saya keluarkan menstrual cup-nya dan saya cuci. Banyaknya menstruasi saya di hari pertama itu 1/4 cangkir. Setelah dicuci pakai air mengalir, saya masukkan lagi. Rasanya masih kurang pas di vagina.

Nah, pas masuk hari ke-2 yaitu saat menstruasi sedang banyak-banyaknya, cangkir menstruasi saya sudah 1/2 penuh dalam waktu 3 jam saja. Saya harus rutin ganti tiap 3 jam, karena bocor kalau saya biarkan lama-lama. Nah, ini masih trial and error untuk peletakan posisinya. Mungkin menstrual cup untuk pemakai IUD lebih cocok pakai OrganiCup size B.

Ya udah enggak apa-apa. Meski sering ganti, toh saya enggak nyampah juga. Selain itu, saat pemakaian di hari ketiga, saya udah lebih terampil. Sama sekali enggak berasa ada yang mengganjal dan celana dalam terasa kering! Seneng deh.

Saya sih menyarankan banget-banget pakai menstrual cup ini untuk pembaca perempuan saya. Memang terasa mahal di awal, tetapi kalau dihitung-hitung lebih murah kok. Selain itu, kita bisa jaga kesehatan bumi bareng. :)

Selain itu, cangkir ini hanya perlu disteril sebulan sekali setelah siklus menstruasi selesai. Caranya, rebus di panci selama 3-5 menit. Pastikan cangkir menstruasinya enggak terkena bagian bawah panci. Terus, pakai panci terpisah yaa agar tidak tercampur dengan makanan. Kan nanti geli juga. Hehe.

Apakah kamu berniat coba atau justru sudah? Share pengalamannya sama dong! 
Share
Tweet
Pin
Share
13 comments
Ternyata enggak perlu pergi jauh kalau mau jalan-jalan di hutan. Kamu bisa jalan di tengah rimbunnya pohon di Forest Walk, yang terletak di Babakan Siliwangi, Bandung. Letak Forest Walk ini berada di tengah kota, mudah dijangkau oleh angkutan umum.

Forest Walk, Babakan Siliwangi, Bandung. Foto: Dok. Pribadi


Forest Walk Bandung dibuat oleh mantan wali kota Bandung yaitu Ridwan Kamil. Jadi, beliau membuat sebuah jembatan sepanjang 2,2 km di tengah hutan kota tersebut. Orang-orang bisa jalan kaki sambil menikmati pohon dan menghirup udara segar.

Nah, walaupun udah lama dibangun, saya baru berkesempatan menjajal jembatan akhir pekan lalu. Ternyata asyik juga!

Cara masuk ke Forest Walk
Arahkan motor atau mobil kamu ke pintu masuk Babakan Siliwangi, yang letaknya dekat Teras Cikapundung. Nanti akan terlihat banyak gerobak jualan serta parkiran motor. Dari pintu gerbang juga udah kelihatan jembatannya kok!

Nanti, di sisi kanan jembatan, ada sebuah pintu kecil yang terletak di tengah-tengah parkiran motor. Agak tricky sih memang. Ke sini enggak boleh bawa sepeda, main skateboard, dan bawa binatang peliharaan ya!

Begitu masuk, kamu akan lihat tempat yang luas yang berisi kursi-kursi. Sayangnya, waktu saya datang saat akhir pekan, tempat ini kotor dengan bungkus makanan. Jadi saya dan keluarga langsung buru-buru cari jalan buat menyusuri jembatan.

Menyusuri jembatan di Forest Walk
Jembatan di sini bentuknya melingkar dan berkelok-kelok. Jadi, kamu akan mulai di tempat yang banyak tempat duduknya itu, dan berakhir di situ juga. Lebar jembatannya sekitar 1,5 meter kayaknya. Bisa buat jalan 2-3 orang.




Saat jalan di sini rasanya senang sekali. Karena ada beberapa pohon yang membentuk gapura, ada pohon trembesi atau ki hujan yang dahannya menjuntai hingga bawah, pohon bambu yang lebat, beringin yang rindang, dan masih banyak lagi. Jadi, pohon di sini cukup rapat ya, sehingga kita enggak bising sama suara mobil atau motor.

Beberapa area jembatan cukup curam. Oleh karena itu, hati-hati saat musim hujan. Kecuraman ini juga sukses bikin beberapa orang yang jarang olahraga ngos-ngosan. Hehe. Tapi aman kok untuk anak-anak. Enjoyable.

Jam operasional dan tiket masuk Forest Walk
Setahu saya, jam operasional Forest Walk itu 24 jam. Tapi, lagian siapa sih orang yang mau jalan malem-malem di tengah hutan kota. Hehe. Nah, di sini enggak ada tiket masuk alias gratis. Enak banget ya!

Saran saya sih, datang di hari kerja karena relatif sepi dan lebih bersih. Jadi kamu bisa duduk-duduk dengan santai. Waktu saya ke sana sih lumayan hectic di area duduknya. Jangan lupa bawa penangkal nyamuk ya, terutama untuk anak-anak kecil. ;)

Selamat berlibur di Bandung! Jangan lupa buang atau bawa sampahmu agar tidak mengotori Forest Walk. :)
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kemarin-kemarin ini saya sibuk mencari kolam renang untuk bayi di Bandung. Saya bercita-cita Elora harus bisa berenang. Menurut saya, berenang adalah survival skill yang harus dipelajari. Apalagi kita tinggal di negara yang sebagian besar terdiri dari lautan ini. Hehe.

Elora mulai kenal dengan berenang saat usia 3 bulan, yaitu dia baby spa di Rumah Sakit Borromeus. Kalau menurut saya, baby spa ini enggak perlu-perlu amat. Saya cuman pengen tahu reaksinya masuk ke air, karena dia sudah sering dipijat di rumah.

Elora hanya baby spa satu kali saja, karena harganya mahal, yaitu sekitar Rp150.000. Hehe. Setelah itu, saya berniat menceburkan dia ke kolam renang dewasa untuk mengajarkannya berenang. Nah, banyak nih pertimbangan saya saat mencari kolam renang untuk bayi:

1. Airnya harus yang hangat, karena takut ia kaget atau masuk angin.
2. Airnya minim kaporit.
3. Tempatnya tidak terlalu terbuka agar tidak banyak angin.
4. Kamar mandinya nyaman untuk memandikan bayi.

Ada beberapa kolam air hangat di Bandung yang saya pikirkan yaitu Bikasoga di Buah Batu, Kolam Renang Cipaku di daerah Setiabudi, kolam renang Batununggal, dan Bumi Siliwangi di Ciumbuleuit. Sayangnya semua itu jauh dari tempat saya. Maka, saya memilih kolam renang dekat rumah yaitu kolam renang Grha Tirta Siliwangi di Jalan Lombok.

Di Grha Tirta Siliwangi ada dua kolam renang yaitu kolam renang anak-anak yang ada perosotan besar dan pancuran, serta kolam renang dewasa dengan air hangat. Di sini juga ada pasir pantai sehingga anak bisa main. Tetapi, karena letak pasir itu dekat dengan kolam renang anak, jadinya di dalam kolam banyak pasir.

She wasn't happy xD

Elora dimasukkan ke dalam kolam anak yang tingginya hanya sampai paha dia. Tapi dia malah nangis dan takut, mungkin karena dingin dan overwhelming. Dia juga jadi enggak mau jalan di atas pasir pantai.

Bisa lihat ada perosotan besar di belakang yaa.

Oh ya, kami datang di hari Senin. Kirain bakalan sepi, taunya rame banget sama anak sekolah. Kami juga jadi enggak kebagian meja dan kursi. Jadinya, si suami menitipkan barang-barang kami di loker dekat tempat mandi.

Berenang pertama kali untuk bayi

Saat suami menaruh barang di loker, saya mengajak Elora duduk di pinggir kolam renang dewasa. Saya cemplungin kakinya supaya dia enggak kaget. Awalnya dia merengek enggak mau, tapi lama-lama mulai kerasa nyaman. Begitu udah nyaman, saya masukkin dia ke dalam kolam.

Jujur aja, saya kira dia bakal senang di kolam karena dia senang main air di rumah, tapi ternyata dia enggak mau lepas dari pelukan orang tuanya. Ya udah, kami main-main saja sambil memeluk dia. Saya juga basahi kepalanya dulu agar mengingatkan dia sama mandi.

Saat Elora terlihat sudah nyaman, saya tenggelamkan bersama saya. Dia hanya merengek karena matanya basah dengan air, tapi beberapa lama kemudian, dia biasa lagi. Main-main, senang, lalu saya cemplungkan lagi. Begitu terus.

Habis dicemplungkan.

Kok berani nyemplungin anak? Kalau yang saya baca, anak otomatis bisa menahan nafas di dalam air. Jangankan Elora yang usianya udah menginjak 1 tahun, anak-anak di bawah itu udah bisa dicemplungin kok!

Setelah setengah jam berenang, kami naik. Di situ Elora nangis, mungkin karena kedinginan. Mau mandi dan ganti baju aja dia enggak mau turun dari gendongan. Tapi begitu baju udah dipakai satu persatu, baru deh dia mau turun. Jadi, positif kedinginan. Hehe.

Rencananya sih saya mau ajak dia renang lagi secara rutin, tapi mau coba di kolam renang yang lain seperti Bikasoga. Soalnya harga tiket masuk kolam renang Grha Tirta Siliwangi Rp75.000 setiap harinya, cukup mahal buat saya. Dan anak usia 1 tahun sudah dihitung pulak. *tepok jidat

Oh ya, apakah kolam renang Grha Tirtia Siliwangi sedikit tingkat kaporitnya? Sejujurnya saya enggak tahu kalau dilihat dari perhitungan yang benernya. Tapi saya alergi kaporit yaitu suka bersin-bersin parah dan tanpa henti setiap habis renang. Nah, kalau setelah berenang di Siliwangi, saya enggak bersin-bersin. :)

Temen-temen ada yang punya rekomendasi kolam renang untuk bayi di Bandung lainnya? Apakah ada kolam renang hotel yang bisa untuk umum? Bagikan yaa, nanti tulisan ini akan di-update terus. :)
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sepertinya cara mengatasi anak demam itu hal yang patut diketahui oleh semua orang tua baru kayak saya. Demam bisa jadi berbahaya kalau dibiarkan atau ditangani dengan salah. Apalagi kalau demamnya sudah mencapai lebih dari 39,5 derajat, itu harus diopname.

Elora pernah demam, tapi hanya beberapa jam saja. Itu juga setelah imunisasi. Nah, kemarin ia demam padahal enggak ada flu dan enggak imunisasi. Selama tiga hari, suhu badannya naik turun, selalu di atas 38 derajat, bahkan Elora sempat termasuk anak panas tinggi 39 derajat. Kata dokter spesialis anak, kalau udah 3 hari masih demam, ia harus cek darah.

Cara mengatasi demam pada anak di bawah 1 tahun

Dari pengalaman menemani Elora panas selama berhari-hari, saya jadi tahu kira-kira apa yang harus orang tua lakukan saat anak demam:

1. Punya termometer

Cara mengatasi demam tinggi
Demam hari pertama

Setiap orang tua wajib punya termometer agar suhu yang diukur jelas, bukan dikira-kira "oh, kayaknya dia demam" atau "oh, kayaknya panasnya udah turun deh". Investasikan pada termometer yang baik, seperti termometer yang bisa menangkap suhu badan beberapa detik saja.

Kalau yang saya punya itu dari Omron, waktu yang diperlukan sekitar 2-3 menit. Lumayan repot kalau anaknya rewel karena merasa risih saat badannya ditempelin termometer.

2. Kompres jika diperlukan

Kompres pakai ByeBye Fever

Beberapa anak enggak suka dikompres, mereka merasa risih karena basah. Tapi kalau anaknya enggak masalah dikompres, silakan dilakukan ya! Cara menurunkan panas dengan kompres itu gunakan air hangat. Hindari mengompres suhu badan dengan air es. Kenapa? Karena nanti suhu badan akan naik sebagai bentuk perlawanan saat menerima suhu dingin. Jadi, kompres atau berendam di air hangat karena dapat membuka pori-pori sebagai jalan keluar panas tubuh.

Kalau saya kompres dengan ByeBye Fever. Nah, sebenernya enggak tau ini ngaruh atau enggak. Haha. Soalnya kayaknya suhu badannya dia enggak turun tuh.

3. Parasetamol

Beberapa orang tua ada yang suka pakai obat atau pakai cara tradisional. Kalau saya pakai keduanya itu saya balur dengan Minyak Kutus-Kutus dan balur pakai campuran minyak dan bawang. Selain itu, saya kasih obat untuk menghindari panasnya semakin tinggi dan anaknya step. Jadi, saya wajib memiliki parasetamol di rumah.

4. Skin-to-skin

Skin-to-skin pakai gendongan

Konon skin-to-skin dapat menurunkan demam pada bayi. Kenapa? Suhu panas dari badan anak akan mencari permukaan lain yang lebih dingin, yaitu kulit orang tuanya. Nah, ibu harus buka pakaian dalam dan pakaian luar, sedangkan anak pakai popok saja.

Kalau saya skin-to-skin sambil menggendong anak menggunakan gendongan stretchy wrap. Lumayan ini bisa bikin dia tidur. Kain gendongan juga bisa mencegah anak masuk angin. Jadi kalau anak rewel, menggendong sambil skin-to-skin bisa cara mengatasi demam di malam hari. Dijamin pules.

5. Banyak minum untuk cegah dehidrasi

ASI, ASIP, air putih, jus.. yang penting minum.

Ini lumayan bikin saya pusing. Elora lagi nursing strike alias mogok menyusui langsung sama payudara. Jadi, saya harus pompa. Tapi ternyata hasil pompa saya kurang memenuhi kebutuhan dia. Dia jadi nangis saat ASIPnya habis. Udah gitu, dia juga lagi banyak nolak minum air putih atau jus. Huhu.

Akhirnya saya beli susu formula agar ia bisa minum banyak. Mau ASI, mau sufor, terserah deh yang penting anak enggak dehidrasi dan sehat.

6.  Hubungi dokter jika demam berlanjut

Pepatah iklan obat yang bunyinya "hubungi dokter jika demam berlanjut" itu beneran lhoo. Saya ke dokter umum di puskesmas setelah demamnya dia enggak turun. Selain konsultasi, saya juga mau minta cek darah dan minta surat rujukan ke dokter anak.

Ternyata puskesmas baru akan melakukan cek darah setelah 5 hari demam. Selain itu, mereka juga kasih antibiotik dan surat rujukan baru akan dikasih kalau anak masih demam meski sudah diobati. Yawis, saya berdoa saja supaya demam dia pulih.

7. Cari second opinion jika perlu

Nah, bagian ini agak spesial karena saya punya sepupu yang berprofesi dokter spesialis. Sayangnya dia tinggal jauh dari rumah, sehingga ia baru bisa melakukan pemeriksaan saat Elora demam di hari ketiga.

Elora dibaringkan dan dicek mulutnya. Setelah dibuka dan disenter, terlihat kalau tenggorokannya merah. Jadi ia demam karena radang tenggorokan. Terus kan Elora diare juga, terus sepupu saya bilang bisa jadi bakteri dari tenggorokannya udah turun ke bawah sehingga ia diare. Akhirnya Elora dikasih resep antibiotik dan Lacto-B.

Btw, Elora sempat didiagnosis gusi bengkak sehingga menyebabkan ia mogok menyusui. Mulanya saya berpikir demma itu akibat gigi mau tumbuh atau gusi bengkak. Kalo kata dokter, itu tuh mitos. Sama dengan mitos lain kalau anak demam tandanya mau pinter atau mau bisa sesuatu.

8. Antibiotik

Kayaknya banyak orang tua yang lumayan cukup keras menghindar antibiotik. Alasannya, demam itu adalah reaksi alami anak melawan virus/bakteri, sehingga sebaiknya dibiarkan saja. Kalau saya engga kontra antibiotik, terutama kalau anak demam sudah berhari-hari atau memang ada virus yang enggak bisa didiamkan begitu saja, seperti saat Elora kena disentri. Jadi, ini pilihan orang tua yah!

Panasnya mulai turun

Akhirnya di hari ke-4, suhu tubuh Elora turun. Walau masih manja karena proses recovery, Elora udah aktif jalan. Alhamdulillah, enggak usah cek darah apalagi diopname segala.

Semoga cara mengatasi anak demam di atas bisa membantu para orang tua baru kayak saya yaa. Hihi. Kuncinya, jangan panik. Panik itu enggak akan membawa kita ke mana-mana karena anak juga jadi enggak nyaman lihat orang tuanya panik. Jadi, usahakan untuk selalu tetap tenang.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Older Posts

Tentang Penulis

About Me

Penulis artikel majalah, artikel SEO untuk website, dan konten media sosial. Karya-karyanya telah diterbitkan di berbagai media cetak dan online, seperti Media Indonesia, The Jakarta Post (Publishing), National Geographic Traveler, Lazada, dan lainnya. Berdomisili di Bandung.

Pengikut

Media Sosial

  • facebook
  • flickr
  • instagram
  • linkedin
  • twitter
  • youtube

Total Pageviews

Sparkline

Kategori

Bandung blog DIY fiksi Jakarta Jalan-jalan kecantikan kesehatan ocehan pagi opini pameran seni parenting personal writing profil review buku review film review musik

Popular Posts

  • Pasang IUD di Puskesmas
    Setelah Elora lahir, saya enggak dapat haid sampai Elora usianya 3 bulan. Hal ini berbeda dengan teman saya yang langsung haid begitu masa ...
  • Prenatal Yoga atau Senam Hamil?
    Calon ibu yang mengandung anak pertama seperti saya pasti mengalami kebingungan. Di tiga bulan pertama, biasanya bingung makan apa saja yang...
  • Hi, Mucocele
    Ilustrasi dari freepik.com | katemangostar Jadi, belakang ini saya bolak-balik rumah sakit karena ada sebuah benjolan di bibir bawah sa...
  • Minyak Kutus Kutus Menyembuhkan Segudang Penyakit. Apa Iya?
    Kalau kamu adalah tipe orang yang gemar memakai produk herbal, organik dan alami, kamu berada di blog yang tepat. Saya juga gemar dengan pro...
  • Review Clodi Ecobum, Cluebebe, Babyland, dan Little Hippo. Mana yang Terbaik?
    Saya mau menulis lagi tentang cloth diaper (clodi) karena saya bangga pakai clodi. Beberapa waktu lalu, saya baca berita kalau tiga juta ...

Arsip Blog

  • ▼  2019 (4)
    • ▼  February 2019 (3)
      • Suka Buang Limbah Elektronik ke Tempat Sampah? Seg...
      • Review Pakai Menstrual Cup dari OrganiCup Pertama ...
      • Mau Hirup Udara Segar? Ke Forest Walk Babakan Sili...
    • ►  January 2019 (1)
  • ►  2018 (20)
    • ►  December 2018 (1)
    • ►  October 2018 (2)
    • ►  September 2018 (1)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  July 2018 (2)
    • ►  June 2018 (2)
    • ►  May 2018 (1)
    • ►  April 2018 (2)
    • ►  March 2018 (3)
    • ►  February 2018 (2)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (32)
    • ►  December 2017 (2)
    • ►  November 2017 (3)
    • ►  October 2017 (2)
    • ►  September 2017 (5)
    • ►  August 2017 (2)
    • ►  July 2017 (1)
    • ►  June 2017 (3)
    • ►  May 2017 (4)
    • ►  April 2017 (5)
    • ►  March 2017 (3)
    • ►  February 2017 (2)
  • ►  2016 (39)
    • ►  December 2016 (2)
    • ►  November 2016 (1)
    • ►  October 2016 (3)
    • ►  September 2016 (7)
    • ►  August 2016 (4)
    • ►  July 2016 (2)
    • ►  May 2016 (6)
    • ►  April 2016 (4)
    • ►  March 2016 (1)
    • ►  February 2016 (5)
    • ►  January 2016 (4)
  • ►  2015 (29)
    • ►  December 2015 (6)
    • ►  November 2015 (2)
    • ►  October 2015 (3)
    • ►  September 2015 (3)
    • ►  August 2015 (3)
    • ►  July 2015 (1)
    • ►  June 2015 (2)
    • ►  May 2015 (2)
    • ►  April 2015 (2)
    • ►  March 2015 (1)
    • ►  February 2015 (2)
    • ►  January 2015 (2)
  • ►  2014 (49)
    • ►  December 2014 (3)
    • ►  November 2014 (3)
    • ►  October 2014 (3)
    • ►  September 2014 (5)
    • ►  August 2014 (6)
    • ►  July 2014 (6)
    • ►  June 2014 (4)
    • ►  May 2014 (7)
    • ►  April 2014 (2)
    • ►  March 2014 (2)
    • ►  February 2014 (6)
    • ►  January 2014 (2)
  • ►  2013 (66)
    • ►  December 2013 (7)
    • ►  November 2013 (3)
    • ►  October 2013 (4)
    • ►  September 2013 (6)
    • ►  August 2013 (5)
    • ►  July 2013 (6)
    • ►  June 2013 (7)
    • ►  May 2013 (7)
    • ►  April 2013 (4)
    • ►  March 2013 (7)
    • ►  February 2013 (4)
    • ►  January 2013 (6)
  • ►  2012 (73)
    • ►  December 2012 (9)
    • ►  November 2012 (6)
    • ►  October 2012 (6)
    • ►  September 2012 (6)
    • ►  August 2012 (7)
    • ►  July 2012 (4)
    • ►  June 2012 (3)
    • ►  May 2012 (8)
    • ►  April 2012 (7)
    • ►  March 2012 (6)
    • ►  February 2012 (6)
    • ►  January 2012 (5)
  • ►  2011 (92)
    • ►  December 2011 (6)
    • ►  November 2011 (5)
    • ►  October 2011 (6)
    • ►  September 2011 (9)
    • ►  August 2011 (10)
    • ►  July 2011 (10)
    • ►  June 2011 (4)
    • ►  May 2011 (9)
    • ►  April 2011 (7)
    • ►  March 2011 (7)
    • ►  February 2011 (10)
    • ►  January 2011 (9)
  • ►  2010 (59)
    • ►  December 2010 (7)
    • ►  November 2010 (6)
    • ►  October 2010 (9)
    • ►  September 2010 (7)
    • ►  August 2010 (13)
    • ►  July 2010 (2)
    • ►  March 2010 (4)
    • ►  February 2010 (5)
    • ►  January 2010 (6)
  • ►  2009 (93)
    • ►  December 2009 (8)
    • ►  November 2009 (9)
    • ►  October 2009 (6)
    • ►  September 2009 (15)
    • ►  August 2009 (10)
    • ►  July 2009 (4)
    • ►  June 2009 (7)
    • ►  May 2009 (8)
    • ►  April 2009 (6)
    • ►  March 2009 (8)
    • ►  February 2009 (6)
    • ►  January 2009 (6)
  • ►  2008 (65)
    • ►  December 2008 (4)
    • ►  November 2008 (7)
    • ►  October 2008 (11)
    • ►  September 2008 (8)
    • ►  August 2008 (5)
    • ►  July 2008 (5)
    • ►  June 2008 (5)
    • ►  May 2008 (5)
    • ►  April 2008 (2)
    • ►  March 2008 (3)
    • ►  February 2008 (4)
    • ►  January 2008 (6)
  • ►  2007 (46)
    • ►  December 2007 (6)
    • ►  November 2007 (7)
    • ►  October 2007 (4)
    • ►  September 2007 (2)
    • ►  August 2007 (2)
    • ►  July 2007 (2)
    • ►  June 2007 (3)
    • ►  May 2007 (6)
    • ►  April 2007 (6)
    • ►  March 2007 (4)
    • ►  February 2007 (3)
    • ►  January 2007 (1)
  • ►  2006 (42)
    • ►  December 2006 (4)
    • ►  November 2006 (4)
    • ►  October 2006 (3)
    • ►  September 2006 (2)
    • ►  August 2006 (4)
    • ►  July 2006 (2)
    • ►  June 2006 (3)
    • ►  May 2006 (3)
    • ►  April 2006 (6)
    • ►  March 2006 (6)
    • ►  February 2006 (5)

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates