Foto oleh Ali Hanifa
Sebelum dunia perbioskopan dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan besar yang melebur di pusat perbelanjaan seperti sekarang, Bandung pernah memiliki bioskop yang menjamur dari sekitar awal 1900an hingga 1970an. Bioskop-bioskop itu berdiri dalam gedung-gedung yang terpisah dari pertokoan. Apa saja bioskop yang pernah hadir dan menjadi bagian sejarah pemutaran film di Bandung? Perjalanan bersama Komunitas Aleut! (18/3) dituliskan berdasarkan urutan rute perjalanan.
Panti Karya |
Selain Panti Karya, di dekat Bank Indonesia juga pernah terdapat sebuah bioskop yang bernama de Rex yang kemudian diubah menjadi Panti Budaya tahun 1960an. Sama seperti Panti Karya, Panti Budaya juga ditonton oleh pelajar sekolah namun memiliki perbedaan kelas bioskop. Panti Budaya merupakan bioskop kelas 1 dan Panti Karya merupakan bioskop kelas 2. Karena rol film saat itu jumlahnya terbatas, bioskop harus menunggu giliran. Semakin rendah kelasnya makan semakin lambat menontonnya. Kaset film berakhir di layar tancap (feesterrein atau taman hiburan rakyat) Taman Senang, Taman Riang, Taman Warga, dan lainnya.
Bersebelahan dengan rel kereta api, terdapat gedung Landmark (dulu merupakan toko buku Van Dorp) yang ternyata pernah menjadi bioskop yang bernama Pop Theater. Jika dilihat sekarang, di depan Gedung Landmark ada Bank Anda yang dulu juga merupakan sebuah bioskop bernama bioskop Presiden. Reza, koordinator Aleut!, memberikan pengetahuan tambahan bahwa di balik Bank Anda ini terdapat SD Merdeka yang dulunya merupakan gudang garam. Mengingatkan dengan merek rokok? Kalau melihat bungkus rokok tersebut, maka bisa dilihat gambar bungkusnya berupa rumah-rumah di samping rel kereta api seperti letak SD Merdeka sekarang.
Tidak jauh dari sana, terdapat Braga Dangdut yang dulunya merupakan bioskop bernama Braga Sky yang sering didatangi pemuda pemudi untuk menonton film nusantara dan film silat pada tahun 1960-1970an. Bioskop ini merupakan bioskop menengah ke atas sehingga tidak semua orang bisa masuk. Sayangnya, pengunjung saat itu sering menonton sambil menghisap ganja.
Helios |
Di samping Gedung Merdeka terdapat gedung New Majestic yang dulunya merupakan bioskop Concordia di tahun 1900an awal. Gedung ini dinamakan Concordia karena berada di sebelah gedung Societet Concordia (sekarang Gedung Merdeka). Concordia memiliki arti Dewa Keharmonisan dan Kedamaian dalam Romawi Kuno. Bioskop ini merupakan bioskop elit dengan aturan Verbodden voor Honder en irlander yang artinya "dilarang masuk bagi anjing dan pribumi".
Tempat duduknya berundak dan menunjukkan kelas dan harga tiket. Untuk kelas 1 terletak di balkon, kelas 2 terletak bagian bawah belakang, dan kelas 3 di paling depan sehingga mungkin bisa menimbulkan efek pegal-pegal leher. Selain itu tempat duduk laki-laki dan perempuan dipisah, namun pada prakteknya mereka tetap melebur saja.
Bioskop Concordioa dirancang oleh Wolff Schoemacker dengan gaya arsitekturnya sangat khas yaitu penempatan ornamen nusantara seperti Kala yang terletak di bagian atas. Berbeda dengan Kala yang ada di gedung Landmark, Kala di sini memiliki rahang. Secara keseluruhan, gedung Concordia memiliki bentuk seperti kaleng biskuit atau bilken trommel.
Radiocity |
Di sebelah timur Masjid Raya terdapat bioskop yang berentetan (ki-ka) yaitu: 1) Elita Bioscoop adalah bioskop paling elit setelah Concordia dengan orang-orang terpilih yang menonton dengan pakaian rapi dan memakai sepatu. Bioskop ini dimiliki oleh F. A. A Buse, seorang raja bioskop yang memiliki jaringan besar Elita Concern. Bioskop ini dibangun tahun 1910an dengan gaya arsitektur Art Nouveau dan sempat berganti nama menjadi Puspita tahun 1960an, 2) Varia Park yang merupakan feesterrein atau taman hiburan menampilkan gulat, seni tradisional, dan lainnya. Varia artinya serba-serbi, dan 3) Oriental Show yang dibangun tahun 1930an. Sayangnya ketiga bioskop ini dihancurkan untuk dibangun pertokoan Palaguna yang sekarang kondisinya sudah layak dihancurkan juga.
Elita merupakan bioskop yang memutar film Loetoeng Kasaroeng pada tahun 1926. Film ini merupakan film yang memiliki latar belakang Indonesia (konon syuting dilakukan di antara Bandung-Padalarang) dan dibuat oleh perusahaan NV Java Film Co. Sutradaranya sendiri adalah orang Belanda bernama Heuveldorp dan Krugers sebagai kameramen. Tidak bergerak sendiri, mereka bekerja sama dengan bupati Bandung Wiranatakusumah V dimana keluarganya berakting dalam film tersebut. Latar belakang pembuatan film tersebut adalah film-film impor yang hadir sebelum tahun 1926 adalah film-film yang berbau kekerasan dan pemerkosaan sehingga diharapkan film ini dapat menciptakan image bahwa Belanda itu baik. Loetoeng Kasaroeng berhasil ditayangkan selama 1 atau 2 tahun di Elita tanpa henti karena selalu ada peminatnya.
Bioskop di Bandung tidak hanya yang disebutkan di atas karena masih banyak lagi seperti Apollo di Banceuy, Alhambra Bioscoop di Kompa-Suniaraja, Orion Bioscoop di Kebonjati, Vogelpoel Bioscoop di Braga-Naripan, Luxor di Sudirman, Rivoli Theater (kini Rumentang Siang) di Kosambi, Liberty Bioscoop di Cicadas, dan lainnya. Perkembangan dunia perbioskopan zaman dulu diadakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang membutuhkan hiburan. Saat itu bioskop tidak hanya sekedar tempat menonton saja tetapi di beberapa diantaranya yang memiliki balkon terdapat ruangan cafe dengan satu meja dan kursi sehingga bisa ngopi-ngopi.
Informasi tambahan:
http://www.sundanetwork.com/bandung-updates/seabad-bioskop-di-bandung.html
http://djawatempodoeloe.multiply.com/photos/photo/190/99?&show_interstitial=1&u=%2Fphotos%2Fphoto
0 comments:
Post a Comment
Komentar di blog ini akan dimoderasi agar penulis dapat notifikasi komentar terbaru.